Tetapisaat ini rumput laut juga dikembangkan menjadi bioetanol. Rumput laut dipandang sebagai bioenergi pengganti BBM yang dipercaya jauh lebih ekonomis ketimbang tanaman jarak, minyak kelapa sawit, dan ethanol dari jagung. Caulerpa serrulata dan Gracilaria verrucosa merupakan spesies rumput laut yang dapat menghasilkan bioetanol.
Bioethanoldapat dibuat dari singkong.Singkong (Manihot utilissima) sering juga disebut sebagai ubi kayu atau ketela pohon, merupakan tanaman yang sangat populer di seluruh dunia, khususnya di negara-negara tropis.Di Indonesia, singkong memiliki arti ekonomi terpenting dibandingkan dengan jenis umbi-umbian yang lain Selain itu kandungan pati
Bioetanoladalah sumber energi terbarukan yang sangat berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Bioetanol merupakan etanol hasil fermentasi gula, pati-patian atau biomassa lignoselulosa. Bahan dasar yang dapat digunakan antara lain; ubi kayu, ubi jalar, jagung dan sagu (Nurdyastuti, 2006).
Karenaberasal dari biomasa, limbah bioetanol baik cair maupun padat mengandung bahan organik yang dibutuhkan tanaman, mengandung unsur makro dan mikro yang diperlukan tanaman. Seperti kita ketahui Indonesia memiliki potensi sangat besar di bidang pertanian ditinjau dari ketersediaan lahan, kesesuaian iklim, tenaga kerja (melimpah
PemerintahAustria dan Australia mengeluarkan kebijakan kemudahan untuk membangun pabrik biofuel , sehingga pengusaha pun tertarik untuk membangun industri bahan bakar alternatif. Bahkan di Swedia, harga bioethanol BE-85 (85% ethanol dan 15% bensin) dipatok lebih murah 25% daripada bahan bakar konvensional (Akhairuddin, 2006: 55).
OYxTf. Saaty TL, Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi Yang Kompleks. Setiono L, penerjemah; Jakarta Pustaka Binaman 1993 Soeharto, Manajemen Proyek Industri Persiapan, Pelaksanaan dan Pengelolaan. Erlangga, Jakarta 1990 Tatang H. Soerawidjaja, 5 November 2016, Jalan Lurus Menuju Ke Penggantian Minyak Bumi, Seminar Nasional I-Challenge Indonesia Chemical Engineering Event Proses dan Teknologi Pendayagunaan Sumber Daya Alam Indonesia, Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur 2016 Amelia, 2016 Hitung-Hitungan Skema Baru Kontrak Migas Gross Split, Katadata News and Research, Diakses tanggal 27 September 2017. APP 2014 Sustainability Report 2014, Asia Pulp and Paper, Jakarta. APRIL 2014 Sustainability Report 2013-2014, APRIL Group, Jakarta. CDIEMR 2016 Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2016, Center for Data and Information on Energy and Mineral Resources, Ministry of Energy and Mineral Resources, Jakarta. CEC 2017 Renewable Energy Transmission Initiative California Energy Commission. Ciarcia, D. 2011 Charging ahead GE EV Solutions, Presented at IEEE NYC Chapter. Ditjen EBTKE 2016 Buku Informasi Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, Jakarta. Ditjen EBTKE 2016a Buku Profil Sukses Penerapan Bioenergi di Indonesia, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, Jakarta. Ditjen EBTKE 2016b Statistik Energi Baru dan Terbarukan Edisi 2013-2016, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, Jakarta. Ditjen Migas 2015 Statistik Minyak dan Gas Bumi 2015, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM, Jakarta. Ditjen Migas 2017 Neraca Gas Bumi Indonesia Tahun 2016-2035, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM, Jakarta. Ditjen Minerba 2015 Indonesia Mineral and Coal Information 2015, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM, Jakarta. EIA 2016 Capital Cost Estimates for Utility Scale Electricity Generating Plants, Energy Information Administration, Washington, Hendrawati, Siswahyu, A., and Ramadhan, 2017 Pre-Feasibility Study of Bioavtur Production with HEFA Process In Indonesia, International Journal of Scientific & Technology Research, 04. IEA 2010 Energy Technology Perspectives 2010 Scenario & Strategies to 2050, International Energy Agency, Paris. Kemenhub 2016a Statistik Perhubungan 2015, Buku I, Kementerian Perhubungan, Jakarta. Kemenkeu 2017 Nota Keuangan RAPBN 2017, Kementerian Keuangan, Jakarta. Kemenperin & PT EMI 2011 Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction in Industrial Sector, Kementerian Perindustrian dan PT Energy Management Indonesia, Jakarta. Kemenperin 2012 Peta Panduan Road Map Pengurangan Emisi CO2 Industri Semen di Indonesia, Kementerian Perindustrian, Jakarta. KESDM 2015 Rencana Strategis 2015 – 2019, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta. KLHK 2016 Perubahan Iklim, Perjanjian Paris dan Nationally Determined Contribution, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta. BPPT 2015 Outlook Energi Indonesia 2015, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta. CDIEMR 2015 Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2015, Center for Data and Information on Energy and Mineral Resources, Ditjen Migas 2015 Peta Jalan Kebijakan Gas Bumi Nasional 2014-2030, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta. IEA 2014 Energy Technology Roadmaps a guide to development and implementation, International Energy Agency, Paris. Kemenristek 2006 Buku Putih Penelitian, Pengembangan Dan Penerapan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Energi Baru Dan Terbarukan Untuk Mendukung Keamanan Ketersediaan Energi Tahun 2005 – 2025, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Jakarta.
Di saat harga BBM kembali dinaikkan oleh pemerintah, orang-orang kembali ribut untuk mencari solusi alternatif pengganti BBM. Salah satu biofuel pengganti/subtitusi bensin adalah bioetanol. Gaung bioetanol pernah booming kurang lebih 8-10 tahunan yang lalu. Rasanya hampir semua orang berlomba-lomba membuat bioetanol, terutama dari singkong/pati. Kebun-kebun singkong dibangun di mana-mana. Pelatihan-pelatihan bioetanol berjamur dan selalu penuh pesertanya. Namun, ini yang sungguh membuat saya terheran-heran, realisasi bioetanol sebagai energi di Indonesia ternyata NOL. Saya ulangi lagi NOOOOL…sodara-sodara….. alias NIHIL….alias NGGAAKKK ADA. Data ini saya peroleh dari website/publikasinya Kementrian ESDM dan informasi langsung dari staf ESDM. Sungguh aneh. Saya sudah membahasnya di artikel lain, mengapa bioetanol masih diperlukan di Indonesia. Bioetanol belum bisa digantikan oleh biogas, biosolar/biodiesel atau listrik. Kenapa….????? Karena semua motor dan sebagian besar kendaraan di Indonesia masih minum bensin/premium. Mesin bensin beda dengan mesin diesel apalagi mesin biogas atau mesin listrik. Karenanya mesin bensin tidak bisa disuruh minum biosolar dan biogas. Perlu modifikasi sana-sini atau tambah ini-itu. Pemerintah sudah menaikkan harga bensin/premium menjadi Rp. pr liter sejak seminggu yang lalu dengan alasan bahwa subsidi BBM sangat membebani anggaran negera. Terlepas dari pro dan kontra terhadap kebijakan pemerintah tersebut, saya hanya berharap agar momentum kenaikan BBM ini bisa menjadi momentum kebangkitan/kesadaran pemerintah dan bangsa ini untuk mengembangkan biofuel, khususnya bioetanol sebagai alternatif penganti/substitusi bensin. Hanya saja, perasaan saya euforia bioetanol dan biofuel tidak seperti 8 tahun yang lalu. Program ini pernah tidak berjalan alias gagal, dan sepertinya orang-orang sudah trauma dengan kegagalan ini. Saya jadi berfikir, kira-kira apa yang menyebabkan bioetanol tidak berkembang di Indonesia. Saya tidak punya banyak informasi. Informasi yang saya punya hanyalan informasi yang saya peroleh secara informal dari teman-teman yang pernah berkecimpung di dunia peretanolan jaman dulu, kenalan dari ESDM, dan teman-teman yang konsern dengan etanol. Saya menduga bahwa salah satu penyebabnya adalah faktor ekonomis. Bioetanol di Indonesia yang sudah siap untuk diproduksi dalam skala masal adalah bietanol dari molases, nira, dan singkong atau sumber pati-patian yang lain. Bioetanol dari molases dan nira adalah yang paling mudah. Industri ini sudah berdiri sejak dulu kala dengan nama Pabrik Spirtus. Beberapa pabrik spirtus ada di beberapa tempat, terutama yang ada di dekat pabrik gula PG. Produknya adalah spirtus yang berwarna biru. Spirtus ini adalah bioetanol yang diberi pewarna biru. Jika akan digunakan sebagai bioethanol fuel grade EFG, perlu ditingkatkan kemurniannya menjadi 99%. Nah…problemnya adalah masalah harga bioetanol itu. Spirtus kalau tidak salah harganya kurang lebih 15 rb per liter, padahal kadar etanolnya sekitar 60%. Ethanol 95% yang dijual di apotik atau toko kimia dijual dengan harga Rp. 25rb – Rp. 30rb. Saya biasa menggunakan etanol ini untuk disinfektan di lab. Biofuel yang kadar etanolnya 99%, harganya berapa….????????? Konon, jaman dulu pertamina membelinya dengan harga Rp. Sekarang mungkin harganya naik, tetapi saya tidak tahu berapa tepatnya. Bagi pengusaha, bagaimana mungkin membuat barang dalam hal ini bioetanol yang sangat murni 99% dengan tahapan yang lebih zulit, rumit, dan biayanya lebih besar, tetapi harganya muurraaahhh. Lebih murah daripada barang yang sama dengan kemurniana cuma 60%. Sungguh-sungguh tidak masuk di akal, bukan….?????!!!!! Itulah Indonesia. Bahan baku bioetanol berikutnya adalah dari singkong atau bahan lain yang mengandung pati tinggi, seperti sorgum, sagu, ganyong, dan lain-lain. Singkong sudah di tanam besar-besaran di berbagai daerah di Indonesia. Kabar angin juga, perusahaan-perusahaan besar nasional yang bergerak di bidang energi terbarukan juga sudah menginvestasikan untuk menanam singkong di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Bahkan, kabarnya mereka juga sudah membangun pabrik bioetanol. Kabar terakhir pabrik ini tidak berjalan. Bioetanol dari singkong atau dari umbi-umbian yang lain membutuhkan langkah proses yang lebih panjang dari pada etanol dari molases atau dari nira. Tambah satu proses lagi, yaitu hidrolisis. Hidrolisis bisa menggunakan asam atau enzime. Kendalanya adalah ketersediaan enzime ini dan harga enzimenya. Gula hasil hidrolisis enzimatik mesti segera difermentasi, kalau tidak akan segera terfermentasi sendiri menjadi asam. Repot, kan. Lebih konyol lagi, harga singkong melonjak hingga 300%nya sejak isu bioetanol dari singkong ini berkembang. Meningkatnya harga bahan baku ini menyebabkan biaya produksinya juga meningkat. Tantangan lainnya adalah bioetanol dari singkong berkompetisi dengan tepung tapioka. Proses pembuatan tempung tapioka jauh lebih sederhana daripada proses pembuatan bioetanol. Gampangnya, cuma diparut, diperes, dicuci, dan diendapkan saja. Semuanya proses fisik dan tidak melibatkan proses kimia. Harga jual tepung tapioka pun juga lumayan tinggi. Pabrik bioetanol dari singkong tidak bisa bersaing dengan pabrik tepung tapioka. Tragis. Alternatif berikutnya adalah bioetanol dari lignoselulosa. Secara teoritik, bioetanol ini sangat menjajikan. Indonesia memiliki biomassa yang sangat melimbah. Kalau dikonversi secara matematik potensinya sangat besar. Ini baru dihitung dari limbah biomassa agroindustri, perkebunan, dan kehutanan. Belum lagi kalau biomassanya memang langsung dari tanaman yang ditanama khusus untuk produksi biomassa, akan semakin besar lagi potensinya. Hanya saja….sayangnya… Teknologi ini belum siap dalam skala besar. Beberapa pilot plan sudah dibagun di negara Eropa dan di Indonesia juga sudah ada pilot plant yang cukup besar. Masalahnya sama, proses produksi bioetanol dari biomassa lignoselulosa jauh lebih panjang dan lebih sulit daripada produksi bioetanol dari singkong. Tentu saja ini akan berakibat pada biaya produksinya. Setahu saya sampai saat ini belum ada teknologi yang murah untuk menghasilkan bioetanol dari lignoselulosa. Dari bahan yang mudah saja masih berat apalagi membuat bioetanol dari bahan-bahan yang lebih sulit, lebih berat lagi menjualnya. Itulah kira-kira analisa saya, mengapa bioetanol belum berkembang di Indonesia. Saya tetap optimis jika bioetanol tetap akan menjadi biofuel yang menjanjikan di masa depan. Namun kapan masa depan itu masih belum jelas. Saya berusaha untuk meneliti dan membuat bioetanol dari biomassa dan mengembangak cara-cara yang bisa lebih murah dari teknologi saat ini. Penelitian semacam ini, meskipun belum terlihat potensi ekonominya dalam jangka pendek, tetapi seyogyanya didukung oleh pemerintah atau industri terkait. Kalau tidak, kemungkinan kita akan tetap dan terus menjadi konsumen teknologi di masa depan. Penelitian-penelitian tentang biofuel/bioetanol dari biomassa sangat gencar di lakukan di luar negeri. Perlahan tetapi pasti mereka akan menemukan teknologi produksi yang murah dan bisa bersaing dengan BBM. Indonesia, kalau tidak mengejar akan tertinggal dan akhirnya menyerah untuk menggunakan teknologi mereka. Semoga ini tidak terjadi. Wallahua’lam. Rate this
Hendry Y. Nanlohy Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Anwar . Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Keywords singkong hutan, air tape, destilasi fraksional, bioetanol Abstract Bioetanol merupakan salah satu bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah. Bioetanol adalah cairan biokimia dari proses fermentasi karbohidrat dengan bantuan mikroorganisme, dan dilanjutkan dengan proses destilasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari tentang bioetanol yang dapat dihasilkan dari air tape singkong, dengan cara destilasi fraksional. Untuk pemisahan alkohol air tape dari air, dari setiap pembakaran C2H5OHl, menentukan nilai udara pembakaran, entalpi pembakaran yaitu -13,503 kj/kmol bahan bakar, nilai pemanasan atas HHV = 44755,76 kj/mol dan nilai pemanasan bawah LHV = 52325,76 kj/mol, menentukan titik nyala adiabatik dari setiap reaksi pembakaran yaitu Tad = 2850,041 K dan menguji kadar bioetanol 70%, 83%, 86%, dan 95% pada kompor bioetanol. konsumsi bahan bakar bioethanol berkadar 70 % dengan waktu didih rata – rata yaitu 9,15; dan konsumsi bahan bakar sebesar 26,7 ml bioethanol. Pada bioethanol berkadar 83% dengan waktu titik didih rata – rata 5,34 dan konsumsi bahan bakar 21,7 ml bioethanol. Pada bioethanol 86% dengan waktu titik didih rata - rata 4,09 menit dan konsumsi bahan bakarnya rata - rata 18,3 ml bioethanol, sedangkan pada bioethanol berkadar 95% dengan titik didih rata - rata 1,52 menit dan nilai rata – rata konsumsi bahan bakarnya yaitu 9 ml bioethanol. Hasil dari penelitian bioetanol dengan kadar 70%, 83%, 86% dan 95% dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah. Kesimpulan uji coba bioetanol terhadap kompor bioetanol yaitu semakin tinggi kadar bioetanol yang digunakan, maka semakin cepat waktu titik didihnya dan juga semakin hemat konsumsi bahan bakarnya.
mengapa bioetanol dari singkong sangat berpotensi dikembangkan di indonesia